MANUSIA DAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DALAM
MENYIKAPI BENCANA
Oleh Suwardi Lubis
A. PENDAHULUAN
Indonesia dapat dikatakan negeri yang akrab dengan bencana alam. Sejarah juga mencatat, sejak berdiri bangsa ini telah banyak mengalami berbagai jenis bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, tanah longsor, angin puting beliungkebakaran hutan hingga kekeringan. Selain bencana alam, berbagai bencana kecelakaan juga kerab terjadi di negeri ini. Pesawat jatuh, kapal tenggelam, tabrakan kereta api, kecelakaan lalulintas hingga kebakaran pemukiman penduduk, menjadi bagian yang kerap menemani hidup masyarakat Indonesia.
Masyarakat yang tinggal di sekitar lingkaran Gunung Sinabung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara telah beberapa kali mengalami dampak letusan dari gunung berapi aktif ini. Sebelum letusan terakhir pada Rabu 2 Agustus 2017 ini, sekitar Gunung Sinabung juga pernah meletus pada agustus 2010 dan september 2013, Oktober 2014. Sama halnya dengan letusan-letusan sebelumnya, Erupsi Gunung Sinabung pada september 2017 lalu menimbulkan kepanikan pada masyarakat di sekitar gunung. Erupsi yang terjadi pada tengah malam dan pagi hari dengan mengeluarkan debu vulkanik membuat masyarakat ketakutan dan menyelamatkan diri dari zona bahaya dekat tempat tinggal mereka.
Negara sebenarnya sudah cukup tanggap dalam penanganan bencana. Saat ini ada UU no 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam UU itu dijelaskan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
Demikian halnya dalam kasus bencana letusan gunung Sinabung, mitigasi bencana memiliki peranan penting untuk mengurangi resiko akibat bencana. Potensi erupsi besar yang mengeluarkan awan panas, guguran lava, debu vulkanik hingga banjir lahar dingin harus dipahami oleh masyarakat sekitar Gunung Sinabung. Informasi tentang zona bahaya dalam radius 10 kilometer, 5 kilometer dan 3 kilometer mesti dikomunikasikan dengan tepat sehingga masyarakat memahami dan mematuhinya.
Permasalahan dalam penyebarluasan informasi dan pesan dalam mitigasi bencana adalah apakah hal tersebut disampaikan dengan komunikasi yang efektif atau tidak. Secara sederhana komunikasi dikatakan efektif bila orang berhasil menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksudkan oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima.
B. PEMBAHASAN
Pihak BPBD Karo sebagai yang berwenang melakukan penyadaran dan pendidikan bencana di masyarakat berdasarkan wawancara dengan narasumber belum secara maksimal melakukan komunikasi dengan masyarakat dalam rangka mitigasi bencana. Pihak berwenang hanya mengandalkan pesan dan informasi melalui papan-papan pengumuman namun tidak melalkukan sosialisasi langsung secara interpersonal kepada masyarakat. Selain itu tidak dilibatkannya pemuka adat, pemuka agama dan tokoh masyarakat juga menjadi salah satu masalah dalam penyebarluasan informasi resiko bencana.
Hambatan komunikasi juga terjadi dilapangan yaitu terjadinya ketegangan antara masyarakat dengan pihak BPBD Karo yang membuat masyarakat tidak terlalu mengindahkan pesan-pesan dari pihak pemerintah terkait larangan zona bahaya. Sebagai masyarakat yang masih kuat memegang adat istiadat, agama dan tali ikatan kekerabatan, masyarakat di sekitar Sinabung sangat menghargai posisi pemuka adat, tokoh masyaraat dan pemuka agama dalam berbagai aktivitas kehidupan. Dalam melakukan komunikasi bencana, pihak berwenang menggunakan media seperti papan pengumuman di zona-zona bahaya, papan himbauan untuk tidak memasuki zona berbahaya, papan instruksi untuk tindakan darurat dan papan informasi titik kumpul jika dalam kondisi darurat. Papan informasi tersebut disebar ke berbagai sudut disekitar zona bahaya Sinabung mulai radius 5 km. Dengan informasi tersebut warga diharapkan memahami resiko bencana yang akan dihadapi mereka terkait bencana erupsi yang terjadi. Masyarakat juga diharapkan secara sadar mampu menghindari untuk memasuki zona-zona berbahaya guna mengurangi resiko dampak bencana.
Jenis Informasi Yang Disampaikan
Dari penelitian yang dilakukan, dapat diidentifikasi jenis-jenis informasi terkait aktivitas mitigasi bencana erupsi gunung Sinabung yang dilakukan oleh pihak berwenang, dalam hal ini Pemerintah melalui BNPB dan BPBD Karo[1]. Adapun jenis informasi yang disampaikan melalui media luar ruang antara lain
1. Informasi zona larangan/ zona bahaya
2. Informasi jarak antara gunung Sinabung dengan kawasan pemukiman
3. Informasi Himbauan untuk tidak memasuki kawasan rawan bencana
4. Informasi kawasan aliran lahar dingin
5. Informasi jalur evakuasi
6. Informasi titik kumpul dalam keadaan darurat
7. Informasi penutupan jalur/jalan
Menurut Effendy dalam Dedi Mulayana (1993:3)[2] secara etimologis, komunikasi berasal dari perkataan latin “communication”. Istilah ini bersumber dari perkataan “comunis” yang berarti sama arti. Sedangkan secara terminologis, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Dari pengertian tersebut, jelas bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi itu adalah manusia.
Sebagaimana dikatakan Haddow George D dan Kims (2008: 16) [3]bahwa komunikasi adalah cara terbaik untuk kesuksesan mitigasi bencana, persiapan, respon dan pemulihan situasi pada saat bencana. Kemampuan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan tentang bencana kepada publik, pemerintah, media dan pemuka pendapat dapat mengurangi resiko, menyelamatkan kehidupan dan dampak dari bencana.
Sedangkan menurut Frank Dance (dalam Littlejohn, 2006 :7), “salah satu aspek penting di dalam komunikasi adalah konsep reduksi ketidakpastian”. Komunikasi itu sendiri muncul karena adanya kebutuhan untuk mengurangi ketidakpastian, supaya dapat bertindak secara efektif demi melindungi atau memperkuat ego yang bersangkutan dalam berinteraksi secara indivuidual maupun kelompok. Dalam penanganan bencana, informasi yang akurat diperlukan oleh masyarakat maupun lembaga swasta yang memiliki kepedulian terhadap korban bencana.
Gunung Sinabung dalam catatan Pusat Vulkanologi dan mitigasi bencana geologi termasuk gurung berapi dengan katagori B. Artinya gunung ini termasuk gunung berapi yang tidak terlalu aktif. Letusan terakhir gunung sinabung terjadi pada empat abad yang lalu. Tapi sejak letusan tahun 2010, PVMBG Kementerian Sumberdaya mineral menaikkan status Gunung Sinabung menjadi tipe A dan mendapatkan pengawasan yang ketat. Gunungapi Sinabung dipantau secara terus menerus menggunakan 4 stasiun seismik, semua sensor dipasang di sekitar puncak Gunung Sinabung. Data dikirim melalui sinyal gelombang radio dan direkam secara analog maupun digital di Pos Pengamatan Gunungapi yang sudah permanen di Jalan. Tiras Bangun, Gang Kayu Bakar, Desa Ndokum Siroga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo (sekitar 8,5 Km dari puncak).
Masyarakat yang mendiami sekitar kawasan gunung Sinabung sebagian besar menggantungkan hidupnya dengan bertani. Namun sejak letusan tahun 2010,2013,2015 dan hinga saat ini 2017, aktivitas gunung Sinabung menjadi perhatian masyarakat sekitar gunung. Kekhawatiran terjadinya letusan secara tiba-tiba dan tanpa tanda-tanda membuat warga yang mendiami lingkaran lereng dan perkampungan di sekitar gunung menjadi cemas. Masyarakat yang biasanya hidup tentram dan damai sekarang mulai dihinggapi kecemasan adanya ancaman gempa dan debu vulkanik yang belakangan semakin sering terjadi. Letusan terakhir pada Rabu 2 Agustus 2017, gempa dan semburan debu terjadi tengah malam dan pagi hari. Menurut pengakuan masyarakat, tidak ada aba-aba sebelumnya yang memberitahukan bahwa Sinabung akan meletus. Akibatnya, kepanikan luar biasa melanda masyarakat di emapat desa terdekat yaitu Desa Gurukinayan, Simacem, Sigarang-garang dan Bekerah yang merupakan desa terdekat dengan lingkaran kaki Gunung Sinabung.
Mitigasi bencana dilakukan melalui aktivitas komunikasi yang dilakukan oleh pihak berwenang dalam hal ini pemerintah kabupaten melalui BPBD, TNI dan Polri. Pihak berwenang senantiasa melakukan penyebarluasan informasi kepada masyarakat di sekitar gunung Sinabung antara lain menyangkut kawasan resiko bencana yang harus dihindari oleh warga yang bermukim di sana.
Sejak letusan tahun 2010,2013,2015 dan 2017 hingga saat ini , aktivitas gunung Sinabung menjadi perhatian masyarakat sekitar gunung. Kekhawatiran terjadinya letusan secara tiba-tiba dan tanpa tanda-tanda membuat warga yang mendiami lereng dan perkampungan di sekitar gunung menjadi merasa cemas. Masyarakat yang biasanya hidup tentram dan damai sekarang mulai dihinggapi kecemasan adanya ancaman gempa dan debu vulkanik yang belakangan semakin sering terjadi.
Dalam melakukan komunikasi mitigasi bencana, pihak berwenang menggunakan model media luar ruang seperti papan pengumuman di zona-zona bahaya, papan himbauan untuk tidak memasuki zona berbahaya, papan instruksi untuk tindakan darurat dan papan informasi titik kumpul jika dalam kondisi darurat. Papan informasi tersebut disebar ke berbagai sudut disekitar zona bahaya Sinabung mulai radius 5 kilometer.
Karena alasan kebutuhan hidup yakni lahan pertanian dan tempat tinggal mereka yang berada di dalam kawasan zona bahaya, mereka sering mengabaikannya. Masyarakat juga bias memahami zona-zona terlarang di kawasan Sinabung melalui pesan yang termuat pada papan informasi.
Pihak berwenang hanya mengandalkan pesan dan informasi melalui papan-papan pengumuman namun tidak melalkukan sosialisasi langsung secara interpersonal kepada masyarakat. Selain itu tidak dilibatkannya pemuka adat, pemuka agama dan tokoh masyarakat juga menjadi salah satu masalah dalam penyebarluasan informasi resiko bencana.
C. Adapun Kesimpulan dan saran-saran yang dapat diajukan antara lain,
Bahwa Manusia dalam menyikapi bencana harus berperan mengapilikasikan ilmu dan keahlian yang dimiliki untuk member pengetahuan kepada sesama manusia bagaimana memperbaiki cara berprilaku dalam menjaga keseimbangan hidup dengan alam berbekal budaya local.
Masyarakat sekitar bencana masih kuat memegang adat istiadat, agama dan tali ikatan kekerabatan, mengharagai posisi pemuka adat dan tokoh masyarakat, pemuka agama dalam berbagai aktivitas kehidupan. Termasuk dalam hal bencana erupsi Sinabung, masyarakat masih menjadikan tokoh-tokoh masyatakat di sekitar mereka sebagai rujukan informasi dan tindakan. Karena itu perlu melibatkan tokoh masyarakat dalam melakukan komunikasi mitigasi bencana.
C. DAFTAR PUSTAKA
Creswell, John W, 1998. Qualitatif Inquiry and reseacrh design: Choosing among five traditions. London : Sage Publications
---------------------, 2012. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Denzin, Norman K dan Lincoln Yvonna S. 2009. Handbook Of Qualitatif research. Edisi Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
HH Budi, Setio (ed), 2011. Komunikasi Bencana. Yogyakarta: Mata Padi Presindo
Johsnton , Jeanne Branch, 2003 Personal Account From Survivor of the Hilo Tsunamis 1946 and 1960: Toward A Dister Communication Models, Thesis, University Of Hawaii Library
Haddow George D dan Kims. 2008. Disaster Communications, In A Changing Media World.. London. Elsevier
Mukti, Ali Gufron dan Aris Winarna, 2012. Manajemen Resiko Bencana dalam “Konstruksi Masyarakat Tangguh Bencana” Yokyakarta, Mizan.
Moleong, Lexy.J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
--------------------, 2012. Ilmu Komunikasi, Suatu pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Ritzer George dan Smart Barry, 2011. Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusamedia
Sulaiman, Amir Hamzah 1982, Teknik Kamar Gelap untuk Fotografi, Gramedia Pustaka. Utama, Jakarta.