Friday, January 3, 2020

Masyarakat Modern dan Kebudayaanya

Forum Ads.id
Masyarakat Modern dan Kebudayaanya
Oleh Suwardi Lubis
A. Pengertian Masyarakat Modern
Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada umumnya masyarakat modern tinggal di daerah perkotaan, sehingga disebut masyarakat kota. Namun tidak semua masyarakat kota tidak dapat disebut masyarakat modern,sebab orang kota tidak memiliki orientasi ke masa kini, misalnya gelandangan.
B. Ciri-ciri Masyarakat Modern
1. Hubungan antar manusia terutama didasarkan atas kepentingan-kepentingan pribadi.
2. Hubungan dengan masyarakat lain dilakukan secara terbuka dengan suasana yang saling mempengaruhi
3. Kepercayaan yang kuat akan Ilmu Pengetahuan Teknologi sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
4. Masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam profesiyang dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan kejuruan
5. Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata.
6. Hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks
7. Ekonomi hamper seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasarkanatas penggunaan uangdan alat-alat pembayaran lain.






C. Masyarakat Modern Dilihat Dari Berbagai Aspek
Aspek Mental Manusia:
1. Cenderung didasarkan pada pola pikirserta pola perilaku rasionalatau logis, dengan cirri-cirimenghargai karya orang lain, menghargai waktu, menghargai mutu, berpikir kreatif, efisien, produktif percaya pada diri sendiri, disiplin, dan bertanggung jawab.
2. Memiliki sifat keterbukaan, yaitu dapat menerima pandangan dan gagasan orang lain.
Aspek Teknologi:
1. Teknologi merupakan faktor utama untuk menunjang kehidupan kearah kemajuan atau modernisasi.
2. Sebagai hasil ilmu pengetahuan dengan kemampuan produksi dan efisiensi yang tinggi.
D. Gambaran Umum Kehidupan Masyarakat Modern
Pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan pribadi dengan keluarga.
Sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnnya, dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari. Masyarakat modern mudah stres dan muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan dan pola kerja.
Yang terjadi kemudian adalah dehumanisasi dan alienasi atau keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk modal. Berger menyebutnya sebagai “lonely crowd” karena pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang nyaman berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap. Kedua masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri kepada pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.
Para penganut paham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan perlunya suatu jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia, dan sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini mengutamakan perlunya new sensibility bagi masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya modern.
Kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi, yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.1
E. Kebudayaan Modern
Proses akulturasi di Negara-negara berkembang tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus:”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kli timbul reaksi, karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru atau penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam (Bakker; 1984).
Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan menggerogoti Kebudayaan Nasional yang telah ada? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas tentang Kebudayaan Barat Modern. Menurut para ahli kebudayaan modern dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
a. Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat, misalnya dari Jepang.
Kebudayaan Teknologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.
b. Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodrenan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan membeli, bukan karena membutuhkan, atau ingin menikmati yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.2
c. Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Juga belum mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).3
F. Tantangan Kebudayaan Masyarakat Modern
1. Kebudayaan Modern Tiruan
Tantangan yang sungguh-sungguh mengancam kita adalah Kebudayaan Modern Tiruan. Dia mengancam justru karena tidak sejati, tidak substansial. Yang ditawarkan adalah semu. Kebudayaan itu membuat kita menjadi manusia plastik, manusia tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia kosong, manusia latah.
Kebudayaan Blasteran Modern bagaikan drakula: ia mentereng, mempunyai daya tarik luar biasa, ia lama kelamaan meyedot pandangan asli kita tentang nilai, tentang dasar harga diri, tentang status, dan juga menawarkan menawarkan kemewahan-kemewahan yang dulu bahkan tidak dapat kita impikan. Ia menjanjikan kepenuhan hidup, kemantapan diri, asal kita mau berhenti berpikir sendiri, berhenti membuat kita kehilangan penilaian kita sendiri.Akhirnya kita kehabisan darah. Kehabisan identitas, kebudayaan modern tiruan membuat kita lepas dari kebudayaan tradisional kita sendiri, sekaligus juga tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern sungguhan.
2. Bagaimana Memberi Makan, Sandang, dan Rumah
Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa, budaya adalah perjuangan manusia dalam mengatasi masalah alam dan zaman. Permasalahan yang paling mendasar bagi manusia adalah masalah makan, pakaian dan perumahan. Ketika orang kekurangan gizi bagaimanaakan menjadi orang yang cerdas. Ketika kebutuhan pokok saja tidak terpenuhi bagaimana orangakan berpikir maju dan menciptakan teknologi yang hebat. Jangankan untuk itu, permasalahan pemenuhan kebutuhan kita sangat mempengaruhi pola hubungan di antara manusia. Orang rela mencuri bahkan membunuh agar ia bisa makan sesuap nasi. Sehingga, kelalaian dalam hal ini bukan hanya berdampak pada kemiskinan, kelaparan, kematian, akan tetapi akan berpengaruh dalam tatanan budaya-sosial masyarakat.4
3. Masalah Pendidikan yang Tepat
Pendidikan masih menjadi permasalahan yang menjadi perhatian serius jika bangsa ini ingin dipandang dalam percaturan dunia. Ada fenomena yang menarik terkait dengan hal ini, yaitu mengenai kolaborasi kebudayaan dengan pendidikan, dalam artian bagaimana sistem pendidikan yang ada mengintrinsikkan kebudayaan di dalamnya. Dimana ada suatu kebudayaan yang menjadi spirit dari sistem pendidikan yang kita terapkan.
4. Mengejar Kemajuan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Problem ini beranjak ketika kita sampai saat ini masih menjadi konsumen atas produk-produk teknologi dari negara luar. Situasi keilmiahan kita belum berkembang dengan baik dan belum didukung oleh iklim yang kondusif bagi para ilmuan untuk melakukan penelitian dan penciptaan produk-produk, teknologi baru. Jika kita tetap mengandalkan impor produk dari luar negeri, maka kita terus terbelakang. Oleh karena itu, hal ini tantangan bagi kita untuk mengejar ketertinggalan iptek dari negara-negara maju.5
G. Dampak Negatif dari budaya Masyarakat Modern
  1. Penyalahgunaan media teknologi sebagai sarana pencarian hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan.
  2. Timbulnya praktek-peraktek curang dalam dunia kerja seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.
  3. Sekularisasi adalah sebuah proses pemisahan institusi-institusi dan simbol-simbol politis dari initusi-institusi dan simbol-simbol religius. Kebijakan-kebijakan Negara yang mengatur sebuah masyarakat tidak lagi didasarkan pada norma-norma agama, melainkan pada asas-asas non-religius, seperti: etika dan pragmatisme politik. Kelahiran Negara nasional dan Negara konstitusional di zaman modern menandai proses ini. Konstitusi Negara modern tidak lagi didasarkan pada doktrin-doktrin religius, seperti pada Negara-negara tradisional di Eropa abad pertengahan, melainkan pada prosedur-prosedur birokratis rasional yang mengakui kesamaan hak dan kebebasan setiap warganegara. Mengapa masyarakat modern menempuh jalan sekularisasi? Karena (1) Otoritas politis tidak merasa cukup dengan wewenangnya atas wilayah publik dan ingin juga memberikan regulasi dalam ruang privat seperti yang dilakukan oleh otoritas religius; dan (2) pikiran kritis dicurigai sebagai unsur ‘subversif’ yang melemahkan kepatuhan kepada otoritas.Sekularisasi adalah upaya memberi batas-batas di antara kedua bidang itu dengan memandang keduanya otonom, yakni yang satu tidak dapat direduksi kepada yang lain. Dengan sekularisasi, urusan-urusan religius dianggap beroperasi di dalam ruang privat, tercakup dalam kebebasan subjektif individu untuk menemukan jalan hidupnya. Efek positif sekularisasi adalah toleransi agama, sebab doktrin-doktrin dan nilai-nilai religius tidak lagi dikalkulasi di dalampolitik.Kita berbicara tentang sekularisme jika kita memusatkan perhatian kita pada efek negatif sekularisasi. Sekularisasi dapat mendorong pada ekstrem atau ekses, yakni suatu sikap berlebih-lebihan untuk menyingkirkan segala alasan, motif atau dimensi religius sebagai omong kosong. Pandangan-pandangan seperti ateisme, materialisme dan saintisme merupakan berbagai aspek dalam sekularisme. Sekularisme dalam arti ini bukanlah sebuah proses sosial-epistemologis, melainkan sebuah ideologi dengan kesempitan berpikir yang tidak dapat mentoleransi eksistensi agama di dalam masyarakat majemuk. Jika agama menghasilkan fundamentalisme religius, proses sekularisasi juga dapat menghasilkan suatu fundamentalisme tertentu, yakni fundamentalisme profane. Itulah sekularisme.Jadi, di sini kita dapat mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses yang wajar di dalam modernisasi, karena pemisahan antara agama dan Negara memang diperlukan untuk memungkinkan kebebasan dan keadilan dalam masyarakat majemuk, namun sekularisme harus diwaspadai. Untuk masyarakat kita yang cenderung religius, sekularisme bukanlah ancaman real; fundamentalisme agamalah yang merupakan ancaman real bagi kemajemukan. Yang sebaliknya juga harus dikatakan: Sekularisme bukanlah solusi untuk masalah kemajemukan, sebab sekularisme adalah bentuk intoleransi terhadap agama manaupun yang merupakan anggota masyarakat majemuk. Yang dibutuhkan masyarakat kita adalah tingkat sekularisasi tertentu (baik secara structural maupun kultural) agar dapat bersikap “fair” terhadap kemajemukan orientasi nilai di dalam masyarakat kita. Kebijakan-kebijakan politis yang berorientasi agama tertentu, misalnya, tidak dapat begitu saja dijadikan norma publik untuk mengatur keseluruhan masyarakat, karena akan bersikap tidak fair terhadap kelompok-kelompok lain bahkan dalam agama yang sama.
4. Liberalisme adalah ideologi modern, karena munculnya bersamaan dengan modernisasi dan segala pertentangan ideologis dalam masyarakat modern tak lain daripada pertentangan dengan liberalisme, sehingga cerita tentang modernitas tak kurang daripada cerita tentang liberalisme dan para lawannya. Dalam arti ini, liberalisme sangat sensitif terhadap kolektivisme dan absolutisme kekuasaan. Ekonomi tidak dapat tumbuh jika terus diintervensi Negara, maka liberalisme sejak awal mendukung ekonomi pasar bebas. Di dalam pasar orang tidak bertransaksi dengan membeda-bedakan latar-belakang agama dan kebudayaan, yang penting transaksi itu fair. Dengan kata lain, di dalam transaksi orang melihat agama partner transaksinya sebagai urusan privatnya yang tidak relevan untuk proses pertukaran dalam pasar. Pola transaksi yang melihat agama sebagai persoalan privat yang tidak relevan untuk proses pertukaran itu oleh liberalisme diaplikasikan di dalam hubungan yang lebih luas, yaitu di dalam Negara modern. Liberalisme ekonomi mengandung bahaya tertentu, yaitu intoleransi terhadap mereka yang dimarginalisasikan secara ekonomis oleh mekanisme pasar bebas itu. Namun liberalisme yang berkaitan dengan pendirian intelektual dan sikap-sikap politis justru membantu sebuah masyarakat untuk toleran terhadap kemajemukan. Jika Negara berkonsentrasi pada the problem of justice dan tidak mengintervensi the problem of good life yang adalah kewenangan kelompok-kelompok dalam masyarakat itu, negara menjadi milik bersama kelompok-kelompok sosial itu dan tidak bersikap diskriminatif. Negara liberal berupaya bersikap netral terhadap agama-agama di dalamnya, dan ini justru mendukung kebebasan individu. Di sini liberalisme dapat juga dilihat sebagai hasil dari sekularisasi yang tidak secara mutlak perlu bermuara pada sekularisme. Artinya, suatu Negara liberal tidak harus sekularistis, yakni ingin menyingkirkan agama di dalamnya. Negara liberal juga bisa memiliki respek terhadap agama, namun regulasi-regulasinya tetap sekular. Bersikap netral dari agama, namun memberi infrastruktur yang adil bagi agama-agama untuk berkembang, sebab para anggota agama-agama itu adalah juga warganegaranya.
5. Pluralisme adalah sebuah pandangan yang beroperasi di dalam kebudayaan dalam bentuk sikap-sikap yang menerima kemajemukan orientasi-orientasi nilai di dalam masyarakat modern. Dasar pluralisme adalah the fact of plurality, yakni suatu kenyataan bahwa jika sebuah masyarakat mengalami modernisasi, masyarakat itu mengalami pluralisasi nilai di dalam dirinya. Pluralitas tidak serta merta memunculkan pluralisme, karena tidak semua orang setuju pluralitas. Kaum konservatif dan rmonatis, misalnya, meratapi pluralitas sebagai sindrom disintegrasi sosial dan moral. Namun ada kelompok-kelompok yang menerima pluralitas sebagai kenyataan hidup bersama dan mencoba hidup bersama secara toleran. Kelompok-kelompok ini bisa berasal dari kalangan agama, cendikia, politikus atau budayawan. Pandangan yang menerima pluralitas sebagai realitas hidup bersama dan mencoba mengembangkan sarana-sarana moral dan intelektual untuk membuka ruang kebebasan dan toleransi bagi aneka orientasi nilai etnis, religius ataupun poltis di dalam mayarakat modern itu kita sebut pluralisme. Jika kita menilik ke belakang, ke dalam sejarah agama-agama itu, kita tidak dapat memisahkan agama dari kebudayaan. Setiap agama “tertanam” dan tumbuh dalam konteks kebudayaan dan juga sejarahnya, maka pluralitas juga menandai sejarah setiap agama. Tidak ada hanya satu Kristen, satu Hindu, satu Islam atau satu Budha, karena di tiap kebudayaan berkembang cara-cara dan simbol-simbol spesifik dalam menghayati Tuhan. Simbol-simbol itu bahkan ‘dipinjam’ dari konteks kebudayaan tertentu, misalnya, Jawa, Romawi, India atau Arab. Namun tak semua kelompok agama mau bersikap fair terhadap fakta pluralitas di dalam agama-agama ini. Kelompok-kelompok macam ini – di antara mereka konservatif garis keras-terobsesi pada sebuah fiksi bahwa agama mereka itu homogen dan murni dari unsur-unsur kebudayaan. Fiksi itu sudah barang tentu berbahaya sekali karena menjadi intoleran terhadap kemajemukan kebudayaan dan agama.  Kelompok-kelompok agama yang menerima fakta kemajemukan bahkan di dalam agama mereka sendiri serta mencoba mengembangkan sebuah teologi pluralis sering dicurigai sebagai sesuatu yang morongrong integritas iman, padahal mereka ini bisa saja justru mendorong cara-cara beriman yang dewasa dan terbuka terhadap perubahan dan perbedaan di dalam masyarakat modern.6
















DAFTAR PUSTAKA
Benny Kurniawan, 2012, Tanggerang Selatan: Jelajah Nusa
Bakker, JWM. 1999. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.
Dewantara, Ki Hajar. 1994. Kebudayaan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Sarjono. Agus R (Editor). 1999. Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
Sorokin, Pitirim A. 1957. Social and Cultural Dynamics. Boston: Sargent.

1 Agus R Sarjono,Pembebasan Budaya-Budaya Kita,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999),h.15

2 Koentjaraningrat,Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h.24
3 Turnomo Rahardjo, Menghargai Perbedaan Kultural, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005), h. 15
4 Ki HajarDewantara, Kebudayaan, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa,1994), h.15
5 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,(Jakarta:Rajawali Pers, 1990), h.23


6 Benny Kurniawan, Ilmu Budaya Dasar, (Tanggerang Selatan: Jelajah Nusa, 2012), h. 20